Dunia? Milik Siapa?
Al Abbas Sangaji
Dunia,
kata mereka ini milik semua. Namun?
Lelaki
Palestina bertanya-tanya, tentang segala derita yang ia dan keluarga bahkan
negaranya rasakan.
“Dimana sebuah keadilan? Jika keadilan
hanya milik mereka pemegang senjata!” Suaranya tegas, berteriak dihadapan
ribuan masa yang mengharapkan sebuah perubahan. Kepalan tangan dikepalkan,
menandakan mereka siap melawan, seruan-seruan kata merdeka diucapkan lirih.
“Kita tidak bisa terus berdiam diri,
saatnya kita bangkit dari injakan mereka (Israel), dan berbalik untuk menginjak
mereka. Kita buktikan, bahwa dunia ini adalah milik semua bangsa!!” seruan itu
membakar masa yang hadir, darah yang mengalir mengisyaratkan api perlawanan
yang terus mengalir.
Jika benar, bumi milik semua, tentu kita
akan melihat manusia saling berbagi makan, bukan saling bermusuhan, apa lagi
saling tembak menembak. Darah dan air mata menjadi korban dari binalnya
keinginan untuk berkuasa.
Kulihat
buruh membabi buta, marah tak karuan di depan pabrik mereka, mereka berteriak
lantang melawan kapitalisme, yang membikin mereka serupa dengan mesin bernyawa.
“Beri kami upah sepatutnya upah,
jangan kau hargai kami layaknya jalang dipinggir jalan!” seruan wanita pemimpin
aksi kala itu, meronta-ronta ia. Bagaimana tidak? Upah yang mereka dapatkan
terkadang tidak membawa kesejahteraan hidup, padahal mereka sudah memberikan
kesejahteraan hidup untuk para pemilik modal (pemimpin perusahaan).
Pernah
ku dengar seorang kakek bernama Marx menceritakan sebuah cerita pahit buruh era
saat ia hidup, suaranya lirih, terlihat air mata kian muncul dari kedua matanya
:
“Cu, zaman kakek dahulu para buruh
dilalukan tidak adil, kerap kali mereka harus mencari penghasilan tambahan dari
menjadi jalang, berdagang kelamin! Bayangkan, mereka jadi pemuas nafsu para
iblis! Padahal mereka juga sudah menjadi pemuas nafsu para kapitalis.”
Ku
tatap matanya seraya bertanya :
“Kek, apakah benar dunia ini milik
semua?”
Kakek
menatapku sebagai kakek yang ingin menurunkan ilmunya kepada sang cucu, seraya
berkata :
“ketahuilah, dasar penciptaan
manusia adalah untuk saling membantu, bukan berarti menginjak apalagi
memperkosa demi sebuah orgasme para penguasa. Dari contoh kecil itu saja,
menjelaskan bahwa dunia ini adalah milik pemenang.”
Kulihat
ia meneteskan air mata, tersedu-sedu ia. Ku rangkul untuk menenangkannya.
Semakin lama, semakin ragu juga. Tidak percaya aku, ternyata dunia yang terlihat suci akan keindahannya dibuat kotor oleh penghuninya.
Sekarang
aku jadi percaya akan teori Darwin, yang menyatakan bahwa yang kuat adalah yang
berkuasa.
Persamaan
serupa kencing hangat dari kelamin para pemangku kekuasaan, yang disemprotkan
kepada mereka peminta keadilan, tertawa ia, puas ia, senang? Tentu saja!
Ku
pertanyakan dimana letak persamaan manusia, ketika :
Anak si miskin berteriak lapar.
Afrika adalah sebuah bukti nyata, keberhasilan benua itu serupa mitos yang
selalu diagungkan. Tidak ada yang tersisa dari perut mereka, bahkan cacing pun
segan hidup diperut mereka. Air yang mereka minum begitu kotor, kuman menjadi
teman setia mereka. Penderitaan warga Afrika berbanding terbalik dengan
Amerika, saat Afrika krisis gizi, Amerika sedang sibuk membangun, anak-anak
mereka sibuk sekolah atau menghambur-hamburkan harta.
Jadi,
benarkah dunia masih milik semua?
Pernahku
berjalan disebuah pulau, tanahnya gemerlap saatku injak, mengandung emas
katanya. Entah betul atau tidak, setelahnya ku pandang sekeliling. Aku langsung
berkata :
“Tidak salah, jika Tuhan
dipersamakan dengan seniman, karya mereka sama indahnya.”
Betul,
tempat itu indah disegala sisinya, cakrawala yang menyambutku senja kala itu
menguning dan bercampur pasrah dengan warna merah yang amat berani.
Tetapi
setelah sekian lama aku tinggal, dan mulai berbincang dengan warga sekitar, aku
sadar bahwa keindahan alamnya adalah kamuflase dari kesedihan dan ketimpangan
yang ada. Seharusnya, orang-orang di sana kaya raya, serta terdidik. Namun yang
kulihat sama dengan yang ada di Afrika, banyak dari mereka yang kekurangan
makan, apa lagi sebuah pendidikan.
Hatiku
yang gundah bertanya-tanya :
“Dimana kekayaan yang kalian
miliki?”
Namun ku pendam jauh-jauh rasa
untuk bertanya, karena takut membuat mereka terluka, diam aku seribu bahasa.
Barulah
setelah sekian lama gelisahku hanya tersimpan di dada, akhirnya terjawab :
“Tempat bernama Papua itu sudah
diperkosa penguasa bangsa, kekayaan yang ada untuk penguasa yang berkuasa, serupa
dengan raja Feodal negeri ketoprak di ujung sana. Kekayaan mereka untuk
menghidupi kehidupan sang penguasa, seperti membeli harta secara membabi buta.”
Dan
yang lebih parah dari itu, ternyata tak sedikit pun dari mereka mendapatkan
hasilnya.
Tempat
bernama Papua dan sekitarnya. Hanya akan disebutkan jika akan terjadi pemilu. Sebuah
pesta besar akan dibuatkan sebagai kampanye yang berisi :
“Kita adalah Papua, kita adalah
saudara..” Ujar politikus yang serupa dengan tikus, yang selalu mencuri.
Pada akhirnya ceritanya sama,
orang-orang Papua akan didepak dari kebersamaan, yang tadi disebut “Saudara”,
kata Arie seorang pemuda asal Papua :
“Jika tidak ada sepak bola, paling
tidak kami bisa menjadi debt collector...” Sebuah sarkas yang menghujam
seumpama panah penuh racun kepada dada sang penguasa.
Jika mereka lebih liar dalam
bersuara, akhir berakhir kematian seperti saudara Mako yang tertembak tepat di
dada. Ia mati dalam perjuangan keadilan, demi sebuah kemerdekaan yang selalu
saja dibuat-buat. Laki-laki itu mata dan menghembuskan napas yang penuh dengan
sair keberanian.
Jadi, benarkah bumi kita milik bersama?
Terus
aku dibuat bertanya-tanya, atas ketimpangan yang ada.
Mungkin
tidak adil, jika di tanah jawa anak-anak remaja sibuk berfoya-foya. Karena memiliki
banyak harta dari orang tua, sedangkan jauh di sana, Papua. Remaja-remaja harus
menyadari tidak ada apapun untuk mereka, sekedar pendidikan pun hanya wacana
penguasa, janji kampanye yang selalu kadaluarsa. Lantas aku bertanya-tanya,
dimana letak Pancasila? Masihkah ia menjadi dasar negara, wahai penguasa? Mungkin
kian lama Pancasila hanya menjadi simbol belaka.
Ah sudahlah,
Biarkan mereka terus berencana, terus berdoa agar terlaksana.
Dan kelak tidak ada perbedaan, semua sama.
Tidak ada pertentangan kelas.
Tidak ada sara.
Tidak ada rasis.
Dan nyatanya ya tidak ada.
Terima
kasih.
Komentar
Posting Komentar